Long Distance Marriage Life (Part 3) – End

Setelah panjangnya kisah perjuangan LDM tahun pertama, ternyata Allah belum menakdirkan kami untuk bertemu di awal tahun kedua. Sebelum membaca ini, saya sarankan baca terlebih dulu kisah LDM saya Part 1 dan Part 2.

Bulan Agustus 2018, setelah akhirnya kami dapat mengumpulkan dana untuk membayar OSHC (Overseas Health Student Cover), kami mengajukan permohonan visa Student Dependant. Namun ternyata, tes kesehatannya cukup ketat. Saya dan anak harus mendatangi dokter dan Rumah Sakit berstandar international yang sudah ditentukan oleh pihak Kedutaan Australia. Jika diukur jarak dari Bogor, RS yang terdekat adalah RS Premier Jatinegara di Jakarta Timur. Maka datanglah kami ke RS sesuai jadwal yang telah ditentukan. Tes kesehatannya sangat menyeluruh, meliputi tes urine, mata, rontgen, dan fisik.

Keesokan harinya, RS menelepon untuk memberi kabar hasıl pemeriksaan tes kesehatan. Namun, ternyata RS menemukan bahwa hasil rontgen saya tidak begitu bagus sehingga dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa tes terkait paru-paru pun harus saya jalani. Saya dengar, pihak kedutaan memang sangat ketat memeriksa terutama penyakit TBC. Saya pun menjalani tes rontgen lagi dengan posisi yang berbeda-beda, Tes Mantoux (suntik di permukaan kulit), tes dahak dua jenis (Sputum Kultur dan Gen Expert). Hasil tes dahak pun ternyata baru bisa keluar hasilnya setelah 3 bulan karena dahaknya harus dikultur di lab dan dilihat apakah tumbuh bakteri Tuberculosis. Pemeriksaan yang sama pun harus dijalani juga oleh anak saya, Fatiha yang saat itu masih berusia 20 bulan. Fatiha harus dirontgen dan disuntik mantoux.

Singkat cerita, 2 dokter paru menyatakan bahwa saya harus menjalani pengobatan TBC selama 6 bulan di RS, begitu pun dengan Fatiha karena tes mantoux saya dan Fatiha positif, meskipun tes dahak negatif dan tidak ada gejala fisik apapun seperti batuk. Dokter menyarankan saya agar segera menyetujui untuk pengobatan karena meskipun hanya ada sedikit bercak di gambar rontgen paru-paru saya, namun bakteri TB bisa meluas merusak paru-paru yang sehat jika imun kita tidak cukup kuat melawannya.

Ketika mendengar fakta ini, rasanya sungguh tidak bisa dipercaya, bagaimana mungkin bulan lalu saya dinyatakan sehat bebas TBC oleh salah satu institusi kesehatan negara di Bogor, lalu sekarang saya ‘dituduh’ pesakitan dan visanya ditunda sampai 9 bulan (3 bulan tes sputum kultur + 6 bulan pengobatan). Keluarga dan suami semua kaget  mendengar kabar bahwa saya dinyatakan sakit TBC, karena sepengetahuan kami tidak ada yang sakit itu di keluarga. Belum lagi, kedutaan Australia mengatur bahwa pengobatan TBC minimal 6 bulan harus dilakukan di RS tersebut, disaksikan oleh perawat dan tanda tangan di daftar hadir. Ini artinya saya harus resign dari pekerjaan saya di Bogor dan mencari kost di dekat RS Premier Jatinegara karena saya dan anak harus ke RS setiap hari untuk minum obat.

Mendengar kabar visa saya yang terhambat, suami langsung memutuskan untuk pulang menjenguk saya di Indonesia selama sekitar 3 minggu. Suami masih sempat mengantar saya dan Fatiha naik Commuter Line bersama untuk pergi ke RS Premier dan mencarikan kost.

 

***

 

Awal menetap di Jakarta rasanya gelap sekali pemandanganku. Aku dan suami merasa hidup ini sangat tidak adil. Mengapa sulit sekali bagi keluarga kecil kami untuk berkumpul kembali? Namun entah harus menyalahkan siapa karena memang seperti inilah keadaan yang harus dihadapi. Hidupku berubah 180 derajat, tiba-tiba harus hidup sendiri di sebuah kamar kost yang hanya kotak, sendirian mengurus Fatiha yang masih kecil, tidak ada satu orang pun yang bisa menemani di sini, suami sekali pun, aku pun harus kehilangan dan meninggalkan pekerjaan, ditambah stress nya menyuapi Fatiha obat-obatan setiap hari. Benar-benar tidak habis pikir, apa yang Allah inginkan dariku dengan membuatku hidup seperti ini?

Namun, waktulah yang menjadi obatnya, semakin berjalannya waktu, banyak hal yang baru kusadari. Ketika hidup sendiri seperti ini, aku bisa melakukan apa saja yang kusuka. Di kostan inilah aku mulai menekuni dan otodidak belajar digital drawing. Fatiha juga menjadi fokus perhatianku, di usia memasuki 2 tahun, ia sudah telaten melakukan toilet training, selesai penyapihan dari dot, banyak waktu untuk bermain sambil belajar dari metode Islamic Montessori dan Sensory Play karena ibu mencurahkan seluruh perhatian hanya untuk mendidik Fatiha. Selain itu, setiap jam 4 pagi adalah waktu Fatiha untuk minum obat, sehingga hikmahnya adalah ibu harus bangun setiap hari dan bisa tahajud setelah meminumkan obat untuk Fatiha yang masih tertidur.

Setiap pagi setelah jadwal ibu minum obat di RS, biasanya ibu mengantar Fatiha bermain ke RPTRA (taman bermain anak2 di Jakarta). Seringkali aku termenung melihat anehnya kota ini. Banyak barang-barang yang harganya sangat-sangat murah karena di daerah pemukiman menengah ke bawah. Misalnya seperti mainan anak-anak, jajanan, ada yang harganya cuma Rp 200-500. Tapi kalau kita bergeser sedikit ke tempat yang lebih bagus misal seperti mall, harga es jeruk saja bisa mencapai Rp 35.000. Betapa besar jurang perbedaan antara kaya dan miskin di sini. Banyak juga profesi-profesi yang kadang aku keheranan melihatnya dan bertanya dalam hati, “Oh ada ya profesi seperti itu?” atau “Memang ada ya pelanggannya?” Misal seperti tukang reparasi setrikaan dan mesin cuci yang rutin berteriak dengan suara aneh dan khasnya mencari pelanggan sambil berkeliling kompleks perumahan. Aku pun berpikir lagi, betapa beratnya perjuangan mereka mencari nafkah di Jakarta ini, sampai profesi apapun akan dilakukan demi mendapat rezeki di hari itu.

 

***

 

Singkat cerita, aku pun semakin yakin bahwa aku memang membutuhkan pengobatan ini, Allah melindungiku dengan mencegah TBC ini menjalar di paru-paruku dan Fatiha. Hatiku pun semakin terbuka, dan ketika aku akhirnya mampu ikhlas menerima takdirnya, 6 bulan telah berhasil kamı lalui di sini dengan baik. Rotngen dan tes dahak terakhir kami jalani dan hasilnya kami dinyatakan sehat dan terbebas dari TBC, Alhamdulillah.. Proses visa pun dapat segera diproses kembali.

Aku di sini dan Rischan yang jauh di sana pun semakin menghargai satu sama lain karena hampir 2 tahun jarak ribuan kilometer memisahkan kami, namun keduanya saling menjaga perasaan pasangannya. Momen bersama yang hanya sedikit menjadi sesuatu yang sangat berharga. Tapi akhirnya Allah memutuskan untuk kembali mempertemukan kami, lagi-lagi di bulan Ramadhan yang indah.

 

***

 

28 Mei 2019

Aku dan Fatiha akhirnya mendarat di Brisbane International Airport setelah melalui perjalanan udara yang cukup panjang. Ada perasaan canggung ketika akhirnya bertemu lagi dengan sosok lelaki yang telah lama terpisah. Mata kami saling meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, mencari apa yang berubah setelah lama hanya melihat wajahnya dalam layar hp dalam video call rutin kami. Kami semua pun tersenyum dan berpelukan melepas rasa kangen dan mengabadikannya dengan foto.

Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, Engkau mengabulkan doaku untuk menjaga keluarga kami ini.

 

-End-

Long Distance Marriage Life (Part 2)

Melanjutkan tulisan sebelumnya, Long Distance Marriage Life (Part 1)

Bulan-bulan pertama LDM, aku seringkali menyalahkan diriku sendiri yang gagal memiliki IELTS dengan score mencukupi sehingga tidak bisa segera mendaftar beasiswa luar negeri di tahun itu, yang artinya akan lebih lama pula waktu yang dibutuhkan untuk bisa menyusulnya. Namun, semakin lama berpikir seperti itu, malah semakin sakit rasanya dan aku pun mulai sadar ini adalah jalan yang Allah tentukan, pasti ada yang ingin Dia sampaikan dari kejadian ini. Akhirnya, dengan terus berpikir positif, aku pun bangkit dan berusaha belajar kembali untuk tes IELTS yang kedua. Cerita lengkap perjuangan IELTS klik di sini.

Sungguh bukan perjalanan yang singkat karena waktu terasa sangat lama, apalagi sambil belajar IELTS yang membosankan dan curi-curian dengan waktu Fatiha tidur. Banyak cara yang kubuat agar motivasi dan pikiran positif terus ada di kepala, seperti menuliskan target dan kata-kata penyemangat di setiap sudut kamar, bahkan aku juga mengatur jadwal harian dengan sangat detail agar jangan sampai ada sedikit waktu pun yang disia-siakan. Alhamdulillah, hardwork will never betray, bulan Februari 2018 sertifikat IELTS dengan score yang cukup sudah dalam genggaman. Maka langkah selanjutnya adalah mengejar LoA kampus yang sama atau dekat dengan suami.

Ternyata proses untuk memperoleh LoA kampus Australia mudah jika sudah memiliki semua persyaratannya. Tidak berapa lama setelah tes IELTS, aku pun sudah menerima LoA dari The University of Queensland dalam program Master of Economics and Public Policy. Maka tahap selanjutnya adalah yang paling berat, yaitu mencari beasiswa luar negeri!

Ada tiga beasiswa yang bisa membawaku ke Australia, yaitu Australia Awards Scholarship (AAS), Endeavour, dan LPDP Luar Negeri. Sebagai ikhtiar terbaik, aku akan mengusahakan semaksimal mungkin untuk berkompetisi memperebutkan beasiswa ini. Namun, jika jawabannya bukan untukku, aku pun sudah mempersiapkan mental. Bulan Februari lalu, beasiswa AAS sudah dibuka dan hasilnya belum rezeki untukku. Plan A sampai Z sudah kurancang bersama suami, dari kemungkinan terbaik hingga terburuk, namun plan apapun itu, kita sepakat bahwa itu adalah jalan terbaik dari takdir-Nya. Hingga tulisan ini dibuat, pencarian beasiswa ini masih berproses.

Di bawah derasnya hujan yang mengguyur malam ini, selalu ada doa yang mengikat hati dua jiwa yang terpisah oleh jarak. Agar derasnya ujian, terpaan angin cobaan, dan dinginnya kesendirian tidak mengaburkan mimpi kami untuk kembali menjadi keluarga yang utuh dan tidak akan berhasil menggoyahkan arah tujuan bahtera yang kami naiki bersama.

Beberapa tips menjalani LDM dari saya:

  1. Sepakati kapan akan bertemu rutin dan kapan akan berakhir LDM
  2. Selalu menghargai perasaan pasangan (misal selalu pakai cincin kawin, dan tidak terlalu dekat dengan lawan jenis)
  3. Hindari konflik yang muncul karena mis-komunikasi, kabari kondisi secara rutin dan agendakan telepon/video call setiap harinya
  4. Kuatkan iman, jauhkan godaan, isi waktu luang dengan kegiatan positif jangan sampai kosong.
  5. Selalu mendoakan kebaikan pasangan dan keutuhan keluarga